MIMISAN

Ini artikel orang lain dari Republika semoga ada manfaatnya: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=189098&kat_id=123&kat_id1=&kat_id2=

Mimisan, Berbahayakah?

Banyak hal bisa menyebabkan mimisan. Mulai dari demam sampai tekanan darah tinggi. Mimisan, baik pada anak-anak maupun orang dewasa, cukup sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya, orang menganggap mimisan sebagai hal yang lumrah, atau gangguan ringan saja.

Padahal, belum tentu demikian. Ada kalanya, mimisan merupakan pertanda adanya penyakit atau gangguan kesehatan yang lebih serius. Pada dasarnya, yang disebut mimisan (epistaksis) adalah keluarnya darah dari hidung. Dan seperti dijelaskan oleh Kepala Divisi Pelayanan Medik Rumah Sakit Dr Sardjito, Yogyakarta, dokter Siswanto Sastrowiyoto SpTHT, mimisan sering terjadi pada anak yang menjelang akil balig. ”Namun, ini sifatnya individual, karena ada anak yang menjelang akil balig tapi tak disertai epistaksis,” katanya.

Siswanto menjelaskan, pada prinsipnya epistaksis ada dua macam yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior disebabkan oleh pecahnya sambungan antara arteri etmodialis anterior dan labialis superior. Titik perdarahannya jelas, yaitu hanya di hidung bagian depan, sehingga tidak berbahaya. ”Arteri-arteri yang di anterior itu letaknya sangat di permukaan dan kecil, dan bila terjadi epistaksis pecahnya cuma kecil, sehingga tidak berbahaya bagi anak,” kata Siswanto. Bila perdarahannya normal, sekitar 3-5 menit akan berhenti sendiri. Epistaksis jenis ini biasanya terjadi pada anak-anak yang kurang istirahat, panas tinggi, menjelang akil balig, atau trauma di hidung bagian luar.

Karena umumnya tidak berbahaya, orang tua tak perlu panik bila anaknya mengalami epistaksis anterior. ”Dalam berbagai literatur, belum pernah disebutkan bahwa epistaksis anterior bisa menyebabkan kematian, berbeda halnya dengan epistaksis posterior yang bisa menyebabkan kematian.” Walau begitu, ada juga epistaksis anterior yang patut diwaspadai, yakni bila epistaksis itu terjadi akibat dari demam berdarah dengue. ”Salah satu gejala demam berdarah adalah epistaksis,” tuturnya. Dijelaskan, jika seorang penderita demam berdarah mengalami epistaksis, itu pertanda penyakitnya sudah cukup parah. Biasanya, telah terjadi perdarahan di mana-mana, semisal di perut dan bagian tubuh lainnya.

Karena itu, kalau seseorang menderita demam tinggi dan tidak kunjung turun hingga hari ketiga atau keempat kemudian diikuti epistaksis, besar kemungkinan ini bukan epistaksis biasa. ”Bisa jadi, epistaksis ini disebabkan oleh penyakit lain seperti demam berdarah, sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit.”

Epistaksis posterior
Berbeda dengan epistaksis anterior, epistaksis posterior disebabkan oleh pecahnya arteri sfenopalatina. Titik perdarahannya tidak kelihatan, karena letak arterinya di dalam. ”Tahu-tahu terjadi perdarahan terus-menerus lewat hidung,” tutur Siswanto.

Pada epistaksis posterior, yang pecah adalah arteri besar, sehingga perdarahannya bisa terus-menerus. Karena itu, penderita harus segera dibawa ke rumah sakit dan ditangani oleh dokter spesialis THT (Telinga Hidung, Tenggorokan) dan penyakit dalam. ”Kalau hanya dokter umum yang menangani epistaksis posterior ini, maka risiko kematian sangat besar. Di bagian THT pun penanganannya spesifik, yakni harus dengan belok tampon.”

Epistaksis jenis ini kerap terjadi pada penderita hipertensi (tekanan darah tinggi). Menurut Siswanto, pecahnya arteri sfenopalatina pada penderita hipertensi, justru baik bagi si penderita. ”Pecahnya arteri sfenopalatina justru sebagai klep pengaman daripada terjadi stroke. Kalau stroke, yang pecah adalah arteri di dalam otak. Sebelum pecah di arteri dalam otak, arteri sfenopalatina sudah pecah dulu, sehingga tensinya turun,” paparnya. Pada penderita hipertensi yang mengalami epistaksis posterior, dokter biasanya akan memberi belok tampon, dan lima hari kemudian sudah bisa dilepas. Tensinya juga sudah terkontrol. ”Begitu keluar dari rumah sakit, ia sudah dapat beraktivitas seperti biasa.”

Lain halnya dengan penderita hipertensi yang mengalami stroke. Selain perawatannya di rumah sakit memakan waktu lama, ada kemungkinan juga meninggalkan sisa-sisa kelainan seperti pelo, sulit bicara, tangan dan kaki sulit digerakkan, dan lain-lain. Epistaksis posterior jarang sekali terjadi pada anak-anak. Ini biasanya terjadi pada orang di atas 40 tahun, dan seringkali disebabkan oleh hipertensi. Siswanto mengingatkan, seseorang yang sudah pernah mengalami epistaksis posterior akibat hipertensi, tekanan darahnya harus selalu terkontrol. ”Kalau tensi tidak terkontrol, kemungkinan arteri sfenopalatina akan pecah lagi sekitar 50 persen.”

Apakah mimisan bersifat menurun? Siswanto menampik hal ini. Menurutnya, epistaksis tidak bisa diturunkan dari orang tua pada anaknya. Namun, bila penyebab epistaksis itu hipertensi, bisa saja kelak anaknya mengalami hal yang sama. ”Namun, yang diturunkan dari orang tua bukan mimisannya, melainkan hipertensinya.”

Lakukan Pertolongan Pertama

Jangan buru-buru panik ketika Anda atau anak Anda mengalami mimisan (epistaksis). Selain belum tentu berbahaya, Anda juga bisa melakukan pertolongan pertama untuk menghentikan perdarahan. Caranya? Dokter Siswanto Sastrowiyoto SpTHT memberikan beberapa tips pertolongan pertama pada penderita mimisan. Mudah-mudahan berguna bagi Anda.

Menurut Siswanto, hal pertama yang mesti Anda lakukan pada penderita epistaksis adalah membedakan dan meyakinkan dulu apakah si penderita mengalami epistaksis anterior atau posterior. Salah satu ciri utama epistaksis anterior adalah perdarahan terjadi pada hidung bagian depan. ”Sedangkan pada epistaksis posterior, biasanya kalau penderita meludah atau muntah maka yang keluar adalah cairan berwarna merah atau hitam,” kata Siswanto.

Jika yang terjadi adalah epistaksis anterior, baik pada anak-anak maupun dewasa, pertolongan pertama yang dilakukan adalah segera menyumbat bagian yang mengalami perdarahan. Posisi penderita bisa berbaring atau duduk. Secara tradisional, penyumbatan bisa dilakukan dengan menggunakan daun sirih yang digulung, kemudian dimasukkan ke dalam hidung yang mengalami perdarahan. Mengapa daun sirih? Sebab, daun sirih mengandung astringen (zat pengerut jaringan).

Bila tidak ada daun sirih, Anda bisa gunakan sapu tangan bersih, kain kasa, atau kapas yang digulung kecil dan padat, kemudian ditekan pada daerah yang mengalami perdarahan. Tunggu sekitar tiga sampai lima menit, biasanya perdarahan akan berhenti.

Bagaimana jika yang terjadi adalah epistaksis posterior? Dalam hal epistaksis posterior, menurut Siswanto, tak bisa dilakukan pertolongan pertama atau darurat, melainkan harus segera dibawa ke rumah sakit. Sebab, dikhawatirkan penderita akan mengalami perdarahan terus-menerus. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit, sebaiknya pasien dalam posisi duduk.

Epistaksis juga bisa dicegah. ”Untuk mencegah terjadinya epistaksis anterior, antara lain jangan kecapekan dan hidung jangan dikorek-korek atau digaruk-garuk.” Sedangkan untuk mencegah epistaksis posterior, jurus utama yang mesti dilakukan adalah mengendalikan hipertensi

(nri )

Published in: on Juni 3, 2007 at 11:56 am  Tinggalkan sebuah Komentar